Minggu, 10 Agustus 2014

KEMISKINAN ADALAH MASALAH SEPELE DALAM SYARIAT ISLAM


Kemiskinan adalah wajah Indoneisa saat ini. Kemerdekaan Indoneisa yang telah berusia 63 tahun (hingga tahun 2007) ternyata tidak membuat kemiskinan terhapus dari negeri ini. Pilihan para pemimpin Indonesia untuk meminggirkan peran syariah dari kehidupan ternyata membawa bangsa ini ke jurang kemiskinan yang akut. Menurut laporan Bank Dunia tahun 2006, jumlah masyarakat miskin di Indonesia mencapai kurang lebih 49,7%. Ini artinya bahwa kemerdekaan selama 63 tahun saat ini ternyata tidak berhasil mengangkat bangsa ini dari kemiskinan. Padahal apabila pengangkatan kemiskinan ini didasarkan pada syariah, mungkin sejak tahun 1952 atau 2 tahun sejak Belanda angkat kaki dari tanah air, bangsa Indonesia telah terbebas dari kemiskinan.

Para ulama’ Islam memiliki banyak solusi dalam menanggulangi kemiskinan. Di sana ada zakat. Telah banyak kajian tentang zakat dalam kaitannya dengan pemberantasan kemiskinan. Di antaranya sebuah kitab berharga karya Dr. Yusuf Al Qordhawi yang berjudul Musykilatul Faqr wa Kaifa Yuaalijuhal Islam (Masalah kemiskinan dan bagaimana Islam mengatasinya). Di antara Ulama ada yang menitik beratkan pemberantasan kemiskinan dengan penerapan sistem pemerintahan Islam sebagaimana dilakukan oleh para ikhwan dari berbagai gerakan Islam. Di antara ulama’ ada yang menyoroti pemberantasan kemiskinan dari sisi bina wiraswasta Islam sebagaimana dilakukan oleh Akhina Fillah Dr. Syafi’i Anronio.

Di sini saya mengajukan sebuah ajaran Islam yang lain yang apabila diterapkan akan dapat menghapus kemiskinan dari Indonesia bahkan dalam waktu kurang dari 5 tahun. Ajaran tersebut sering kali dinamakan At Takafful al Islamiy (Saling menanggung yang Islami). Sudah tentu hal ini bukan berarti masalah zakat, pemerintah atau bimbingan wiraswasta tidak penting. Saya justru berpendapat bahwa semuanya sangatlah penting dan harus diterapkan.

Saya hanya ingin menunjukkan bahwa Islam sangat kaya dengan solusi. Dimana jika salah satu saja dari berbagai solusi tersebut dapat diterapkan, efeknya teramat dahsyat dalam memberantas kemiskinan. Apalagi jika semuanya dilakukan secara terpadu.

Takafful al Islamiy ini adalah bentuk gerakan sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah SAW saat beliau berhijrah ke Madinah. Pada saat itu,beliau mempersaudarakan kaum Muhajirin yang berhijrah dari Makkah ke Madinah dalam keadaan miskin dan kaum Anshar sebagai penduduk asli Madinah yang hidup relatif lebih sejahtera.

Sebagai konsekuensi dari persaudaraan ini adalam timbulnya suasana takafful (saling menanggung) di antara kaum Muhajirin dan Anshar. Allah mengabadikan solidaritas sosial ini dalam firmannya:

“Mereka (kaum Anshar) mencintai mereka yang berhijrah. Mereka (kaum Anshar) tidak menemukan dalam dada mereka rasa membutuhkan terhadap apa yang mereka (kaum Muhajirin) datangkan. Dan mereka (kaum Anshar) lebih mengutamakan keum Muhajirin walaupun mereka sendiri sebenarnya juga membutuhkan.” (QS. Al Hasyr: 9).

Dalam Islam sendiri, takafful ini bukan ajaran yang bersifat sukarela. Bahkan wajib. Rasulullah SAW dalam sebuah hadis bersabda:

“Tidaklah beriman kepadaku siapa yang tertidur dalam keadaan kenyang sedangkan tetangga di sebelahnya kelaparan, padahal ia mengetahui.” (HR. Al Bazzaar dan Ath Thabrani). Dalam sebuah riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda:

“Ttidaklah orang beriman mereka yang kekenyangan, sementara tetangganya di sebelahnya dalam keadaan lapar.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi/Irsyaadul Ibaad hal. 96).

Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa solidaritas Islam sangat erat kaitannya dengan iman. Bahwa iman bukan sekedar deretan gelar haji, syaikh, atau ustadz. Iman bukan sekedar ritual dzikir dan wirid yang panjang-panjang. Mereka yang bergelar haji karena melakukan ibadah haji berkali-kali ke Makkah, atau mereka yang sibuk dengan wirid serta dzikirnya ketika tidak memiliki kepekaan sosial, maka keimanan mereka pantas untuk diragukan.

Karena itulah, Syaikh Muhammad bin Sulaiman Al Kurdi berkata, “Sebagian dari keajaiban syariat atas tiap-tiap orang kaya, setelah ia mencukupi kebutuhan untuk setahun dan memenuhi biaya mereka yang menjadi tanggungannya adalah memberi pakaian orang yang telanjang, memberi makanan mereka yang kelaparan, membebaskan tawanan muslim (dari tangan orang kafir), demikian pula tawanan dari kalangan kafir dzimmi sesuai dengan perinciannya, memperkuat perbatasan, membantu bencana yang terjadi di kalangan kaum muslimin, dan lain-lain. Hal ini menjadi kewajiban orang-orang kaya jika semua hal tersebut tidak dapat dibiayai dengan zakat, nadzar, kaffarat, waqof, wasiat, dan dana kemaslahatan umum dari baitul maal (perbendaharaan negara) karena ketidakadaan dana atau keengganan dan kedzaliman para penguasa. Ketika orang-orang kaya tidak mau melakukan semua ini, maka pemerintah boleh mengambil harta tersebut (dengan paksa) dan menyalurkan kepada pos-pos yang telah ditentukan.” (Bughyatul Mustarsyidiin hal. 253).

Jika apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ini serta semangat At Takafful al Islamiy ini diwujudkan secara terkoordinir oleh pemerintah, maka dampaknya dalam penanggulangan kemiskinan sangatlah dahsyat. Konkritnya, pemerintah bisa melibatkan 50,3% bangsa Indonesia yang hidup lebih dari cukup ini untuk mengangkat pada tahun pertama 5% dari masyarakat Indonesia yang masih dalam kemiskinan. Sudah tentu, 5% ini dipilih mereka yang kira-kira bisa untuk berwirausaha. Maksud saya, dengan mengangkat di sini bukan sekedar memberi mereka setumpuk modal. Namun melakukan pembinaan, pelatihan, dan pendampingan yang dipadukan dengan pemberian modal. Sehingga tumbuh kekuatan yang mandiri dari 5% penduduk tersebut. Sehingga dengan demikian, pada satu tahun pertama saja, jumlah kaum miskin telah dikurangi 5% dari 49,7% menjadi 44,7%. Sedangkan jumlah orang kaya bertambah dari 50,3% menjadi 55,3%.

Selanjutnya, dengan bertambahnya jumlah orang kaya, sudah tentu kemampuan untuk memberantas kemiskinan pun menjadi semakin besar. Maka pada tahun ke-2, kaum kaya yang berjumlah 55,3% ini harus bisa mengangkat paling tidak 10% kaum miskin dan membebaskan mereka dari ketergantungan. Sehingga pada akhir tahun ke-2, jumlah penduduk yang kaya bertambah 10% menjadi 65,3%. Sementara jumlah kaum miskin semakin berkurang menjadi 34,7%. Demikianlah seterusnya. Pada tahun ke-3, dengan jumlah orang kaya yang mencapai 65,3%, maka 15% orang miskin dapat dientaskan. Dan pada tahun ke-4, dengan penerapan sistem tersebut secara berkesinambungan, maka seluruh Indonesia bisa terbebas dari kemiskinan.

Ada satu lagi cara pemecahan kemiskinan di Indonesia. Yaitu penghematan terhadap anggaran negara dari belanja-belanja yang tidak penting. Dalam hal ini, kaidah Ushul Fiqh mengatakan:

“Pengelolaan Imam/penguasa atas rakyat terikat dengan aspek kemaslahatan.”

Artinya adalah, bahwa segala keputusan Imam atau pemerintah barus berpijak pada asas kemaslahatan/kebaikan. Dan karena itu, dibutuhkan analisa-analisa yang mendalam dalam pengelolaan anggaran pemerintah. Dalam pandangan Islam, seorang penguasa tidak boleh memutuskan dan mengelola harta kaum muslimin berdasarkan atas nafsu pemimpin semata-mata. Karena hal ini merupakan salah satu bentuk kedzaliman terhadap rakyat.

Ketika Umar bin Abdul Aziz baru dilantik menjadi khalifah, para pegawai yang mengurus kendaraan kerajaan menyiapkan berbagai kendaraan yang istimewa untuknya. Namun Umar menolak semua fasilitas tersebut karena ia sudah merasa cukup dengan keledainya. Bukan hanya itu saja, Umar malah memerintahkan agar seluruh fasilitas kendaraan dinas kekhalifahan dijual dan uangnya dikembalikan ke Baitul Maal untuk kesejahteraan rakyat.

Karena itu, pemerintah semestinya menyusun anggaran yang berpihak kepada kesejahteraan rakyat. Sangat tidak adil jika anggota DPR atau segelintir pejabat dan pegawai negeri menikmati sekitar 80 hingga 95% anggaran pemerintah dalam berbagai bentuknya. Seperti tunjangan, gaji rutin, fasilitas kendaraan, fasilitas mebeler bahkan fasilitas rekreasi. Padahal selama sekian tahun mereka menjabat terbukti gagal membawa bangsa ini pada kesejahteraan. Sementara sekian ratus juta rakyat harus berebut 10% dari anggaran pemerintah. Apakah seperti ni yang disebut dengan keadilan dan kemaslahatan?

* Penulis adalah Wong Mblitar

Diambil dari Majalah AHAM EDISI 73 | TH.X | SYAWAL 1428
Previous Post
Next Post

0 komentar:

Trimakasih atas kunjunganya